Bikulturasi
Bikulturasi {biculturation} adalah salah satu turunan dari konsep akulturasi {acculturation}, yaitu konsep yang membahas tentang perubahan budaya yang terjadi akibat dari pertemuan intensif dua kesatuan hidup, yang mengakibatkan perubahan pada salah satu, beberapa, atau keseluruhan unsur kebudayaan asli yang dimiliki salah satu atau kedua kesatuan hidup yang bertemu. Dengan kata lain, bikulturasi adalah salah satu model perubahan budaya.
Bikulturasi biasa juga disebut sebagai bikulturalisme adalah strategi integrasi, yaitu suatu bentuk strategi di saat terjadinya akulturasi, yang dipahami sebagai model "adopts the receiving culture and retains the heritage culture" (John W. Berry, 1980)[9]. Bikulturasi terjadi baik pada kesatuan hidup yang baru bertemu dengan kesatuan hidup lainnya maupun pada kesatuan hidup yang telah "jadi" – dalam arti telah mengalami perkembangan setelah terjadinya pertemuan yang intensif dengan kesatuan hidup lainnya, yang berarti telah terdapat perubahan budaya[7]. Dalam konteks pertama, umumnya, berdasar pada studi-studi kekinian, merujuk pada apa yang terjadi dikalangan para pendatang atau imigran dan para pengungsi, dimana mereka bertemu dengan kebudayaan lain – meski lokasi yang mereka tuju berada dalam negara atau wilayah dimana mereka tinggal sebelumnya. Dalam konteks kedua, terjadi secara global. Pada kedua konteks tersebut, bikulturasi erat kaitannya dengan istilah bilingual atau dwi-bahasa, dimana individu-individu yang merupakan para pendatang, pengungsi, atau yang terdapat pada suatu kesatuan hidup {kelompok, komunitas, dan/atau masyarakat dalam pengertian sempit maupun luas}, menjadikan salah satu bahasa sebagai bahasa keseharian namun tetap memiliki "bahasa ibu" yang diterapkan antara sesama mereka. Persoalan bahasa menguat dalam studi-studi bikulturasi sebab setelahnya membentuk kepribadian tertentu dan terkait dengan masalah identitas. Sebagai permisalan, bahasa Jawa dengan dialek kental atau medok tentunya adalah milik Suku Jawa, yang pada saat seseorang dari Medan atau Ambon bekerja atau menutut ilmu di lokasi dimana Suku Jawa berada, orang tersebut kemudian mengadopsi dialek tersebut, dan meski bahasa Jawa-nya tidak ikut namun dialek tersebut telah "cukup" untuk membuat dirinya dianggap sebagai orang Jawa. Pada contoh lainnya, seseorang yang terlahir dan besar di Indonesia dan kemudian mempelajari salah satu bahasa di luar bahasa yang hanya terdapat di Indonesia, dan kemudian mempraktekkannya dalam keseharian, lambat laun akan membuat orang tersebut memiliki kepribadian layaknya pemilik dari bahasa yang dipelajarinya. Kepribadian yang dimaksud kemudian sedikit-banyak mengubah budaya yang dimilikinya, yang biasanya, terkait dengan isu pandangan hidup dan juga penilaian. Kedua contoh ini menunjukkan bahwa bikulturasi atau pemilihan salah satu atau beberapa unsur budaya dengan tetap mempraktekkan unsur-unsur budaya yang telah dimiliki sebelumnya, dapat ditemukan dengan mudah dan mungkin Anda juga mempraktekkannya – terlebih di Indonesia terdapat istilah bahasa tradisional atau bahasa daerah dan bahasa pemersatu atau bahasa nasional.
2. Steven Polgar, Biculturation of Mesquakie Teenage Boys, tulisan dimuat dalam American Anthropologists, Volume 62, 1960, Halaman 217-235.
3. The Social Science Research Council Summer, Acculturation; an Exploratory Formulation, tulisan disampaikan dalam Seminar of Acculturation, 1953, dan dimuat dalam American Anthropologists, Volume 56, 1954, Halaman 973-1000.
4. Wikipedia, Biculturalism, tulisan terakhir diperbaharui pada 03 Agustus 2016, https://en.wikipedia.org/wiki/Biculturalism.
5. --------------, Royal Commission on Bilingualism and Biculturalism, tulisan terakhir diperbaharui pada 10 Maret 2016, https://en.wikipedia.org/wiki/Royal_Commission_on_Bilingualism_and_Biculturalism.
6. Verónica Benet-Martinezdan Jana Haritatos, Bicultural Identity Integration (BII); Components and Psychosocial Antecedents, tulisan dimuat dalam Journal of Personality, Volume 73, Nomor 4, 2005, Blackwell Publishing.
7. Sylvia Xiaohua Chen, Verónica Benet-Martinez, dan Michael Harris Bond, Bicultural Identity, Bilingualism, and Psychological Adjustment in Multicultural Societies: Immigration-Based and Globalization-Based Acculturation, tulisan dimuat dalam Journal of Personality, Volume 76, Nomor 4, 2008, Blackwell Publishing.
8. Que-Lam Huynh, Angela-MinhTu D. Nguyen, dan Verónica Benet-Martínez, Bicultural Identity Integration, tulisan dimuat dalam S. J. Schwartz, Koen Luyckx, dan Vivian L. Vignoles {Editor}, 2011, Handbook of Identity Theory and Research, Volume 2, Springer.
9. Seth J. Schwartz, Jennifer B. Unger, Byron L. Zamboanga, dan José Szapocznik, Rethinking the Concept of Acculturation; Implications for Theory and Research, tulisan dimuat dalam American Anthropologists, Volume 65, Nomor 04, 2010, Halaman 237-251.
---------------------------------------------------------------
Sejarah Konsep
Konsep bikulturasi pertama kali diperkenalkan oleh Steven Polgar[1] dalam studi berjudul Biculturation of Mesquakie Teenage Boys {1960}[2], meski gejalanya telah nampak dalam studi-studi sebelumnya, sebagaimana yang dilakukan Evon Z. Vogt dalam studi berjudul Navaho Veterans a Study of Changing Values {1952}[2], bahkan telah menjadi salah satu topik perbincangan dalam seminar bertema akulturasi yang diselenggarakan Social Science Research Council {1954}[3], dan juga dalam studi milik E. M. Bruner yang berjudul Primary Group Experiences and the Process of Acculturation {1956}[2]. Meski demikian, jika merujuk uraian dalam Wikipedia, dijelaskan bahwa konsep bikulturasi bersumber dari sebuah program yang dilakukan pemerintah Kanada terkait dengan fenomena yang terjadi di negara mereka[4[, yang mana program yang dimaksud diselenggarakan dan diawasi oleh Royal Commission on Bilingualism and Biculturalism[5]. Studi-studi terkait fenomena bikulturasi terus berlanjut. Memasuki tahun 2000-an, studi-studi tentang fenomena bikulturasi nampak dalam karya; Verónica Benet-Martinez dan Jana Haritatos dengan judul Bicultural Identity Integration (BII); Components and Psychosocial Antecedents {2005}[6], karya; Sylvia Xiaohua Chen, Verónica Benet-Martinez, dan Michael Harris Bond dengan judul Bicultural Identity, Bilingualism, and Psychological Adjustment in Multicultural Societies: Immigration-Based and Globalization-Based Acculturation {2008}[7], dan karya; Que-Lam Huynh, Angela-MinhTu D. Nguyen, dan Verónica Benet-Martínez dengan judul Bicultural Identity Integration {2011}[8].Definisi Konsep
Kata bikulturasi terdiri atas dua kata, yaitu bi- yang berarti dua dan -kulturasi yang berasal dari kata akulturasi. Bikulturasi adalah percampuran dua unsur kebudayaan menjadi satu, yang mana, pada kesatuan tersebut ciri khas atau karakteristik dari kedua unsur yang dimaksud masih nampak jelas. Konsep ini jelas berbeda dengan asimilasi dimana peleburan menjadi satu adalah intinya. Konsep bikulturasi terdapat dalam fenomena akulturasi, yaitu; pertemuan yang intensif antara dua kesatuan hidup yang menyebabkan perubahan pada salah satu, beberapa, atau bahkan keseluruhan unsur budaya yang dimiliki salah satu atau kedua kesatuan hidup yang bertemu tersebut. Dengan demikian, dalam proses akulturasi, penerimaan dapat merujuk pada salah satu atau beberapa unsur budaya, atau penerimaan terhadap keseluruhan unsur budaya, dan penolakan dapat merujuk pada salah satu atau beberapa unsur budaya, atau penolakan terhadap keseluruhan unsur budaya. Bikulturasi berada pada persoalan penerimaan salah satu atau beberapa unsur budaya, atau dengan kata lain, berada dalam konteks penolakan terhadap salah satu atau beberapa unsur budaya lainnya.Bikulturasi biasa juga disebut sebagai bikulturalisme adalah strategi integrasi, yaitu suatu bentuk strategi di saat terjadinya akulturasi, yang dipahami sebagai model "adopts the receiving culture and retains the heritage culture" (John W. Berry, 1980)[9]. Bikulturasi terjadi baik pada kesatuan hidup yang baru bertemu dengan kesatuan hidup lainnya maupun pada kesatuan hidup yang telah "jadi" – dalam arti telah mengalami perkembangan setelah terjadinya pertemuan yang intensif dengan kesatuan hidup lainnya, yang berarti telah terdapat perubahan budaya[7]. Dalam konteks pertama, umumnya, berdasar pada studi-studi kekinian, merujuk pada apa yang terjadi dikalangan para pendatang atau imigran dan para pengungsi, dimana mereka bertemu dengan kebudayaan lain – meski lokasi yang mereka tuju berada dalam negara atau wilayah dimana mereka tinggal sebelumnya. Dalam konteks kedua, terjadi secara global. Pada kedua konteks tersebut, bikulturasi erat kaitannya dengan istilah bilingual atau dwi-bahasa, dimana individu-individu yang merupakan para pendatang, pengungsi, atau yang terdapat pada suatu kesatuan hidup {kelompok, komunitas, dan/atau masyarakat dalam pengertian sempit maupun luas}, menjadikan salah satu bahasa sebagai bahasa keseharian namun tetap memiliki "bahasa ibu" yang diterapkan antara sesama mereka. Persoalan bahasa menguat dalam studi-studi bikulturasi sebab setelahnya membentuk kepribadian tertentu dan terkait dengan masalah identitas. Sebagai permisalan, bahasa Jawa dengan dialek kental atau medok tentunya adalah milik Suku Jawa, yang pada saat seseorang dari Medan atau Ambon bekerja atau menutut ilmu di lokasi dimana Suku Jawa berada, orang tersebut kemudian mengadopsi dialek tersebut, dan meski bahasa Jawa-nya tidak ikut namun dialek tersebut telah "cukup" untuk membuat dirinya dianggap sebagai orang Jawa. Pada contoh lainnya, seseorang yang terlahir dan besar di Indonesia dan kemudian mempelajari salah satu bahasa di luar bahasa yang hanya terdapat di Indonesia, dan kemudian mempraktekkannya dalam keseharian, lambat laun akan membuat orang tersebut memiliki kepribadian layaknya pemilik dari bahasa yang dipelajarinya. Kepribadian yang dimaksud kemudian sedikit-banyak mengubah budaya yang dimilikinya, yang biasanya, terkait dengan isu pandangan hidup dan juga penilaian. Kedua contoh ini menunjukkan bahwa bikulturasi atau pemilihan salah satu atau beberapa unsur budaya dengan tetap mempraktekkan unsur-unsur budaya yang telah dimiliki sebelumnya, dapat ditemukan dengan mudah dan mungkin Anda juga mempraktekkannya – terlebih di Indonesia terdapat istilah bahasa tradisional atau bahasa daerah dan bahasa pemersatu atau bahasa nasional.
Bibliografi/Bacaan Lanjutan
1. Edward H. Spicer, Acculturation, tulisan dimuat dalam David L. Sills {Editor}, 1968, International Encyclopedia of Social Sciences, Volume I, Halaman 21-27, The Macmillan & The Free Press.2. Steven Polgar, Biculturation of Mesquakie Teenage Boys, tulisan dimuat dalam American Anthropologists, Volume 62, 1960, Halaman 217-235.
3. The Social Science Research Council Summer, Acculturation; an Exploratory Formulation, tulisan disampaikan dalam Seminar of Acculturation, 1953, dan dimuat dalam American Anthropologists, Volume 56, 1954, Halaman 973-1000.
4. Wikipedia, Biculturalism, tulisan terakhir diperbaharui pada 03 Agustus 2016, https://en.wikipedia.org/wiki/Biculturalism.
5. --------------, Royal Commission on Bilingualism and Biculturalism, tulisan terakhir diperbaharui pada 10 Maret 2016, https://en.wikipedia.org/wiki/Royal_Commission_on_Bilingualism_and_Biculturalism.
6. Verónica Benet-Martinezdan Jana Haritatos, Bicultural Identity Integration (BII); Components and Psychosocial Antecedents, tulisan dimuat dalam Journal of Personality, Volume 73, Nomor 4, 2005, Blackwell Publishing.
7. Sylvia Xiaohua Chen, Verónica Benet-Martinez, dan Michael Harris Bond, Bicultural Identity, Bilingualism, and Psychological Adjustment in Multicultural Societies: Immigration-Based and Globalization-Based Acculturation, tulisan dimuat dalam Journal of Personality, Volume 76, Nomor 4, 2008, Blackwell Publishing.
8. Que-Lam Huynh, Angela-MinhTu D. Nguyen, dan Verónica Benet-Martínez, Bicultural Identity Integration, tulisan dimuat dalam S. J. Schwartz, Koen Luyckx, dan Vivian L. Vignoles {Editor}, 2011, Handbook of Identity Theory and Research, Volume 2, Springer.
9. Seth J. Schwartz, Jennifer B. Unger, Byron L. Zamboanga, dan José Szapocznik, Rethinking the Concept of Acculturation; Implications for Theory and Research, tulisan dimuat dalam American Anthropologists, Volume 65, Nomor 04, 2010, Halaman 237-251.
---------------------------------------------------------------

Comments
Post a Comment